Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (Matius 5:16)
“Pahlawan” dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; seorang pejuang yang gagah berani. Definisi tersebut memberi gambaran bahwa seseorang yang mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban dalam membela atau memperjuangkan sesuatu demi kebenaran, keadilan, dan kebebasan dalam konteksnya, disebut sebagai pahlawan. Jika demikian, masih adakah sekarang ini (di Indonesia) yang bisa disebut sebagai pahlawan? Apa konteks Indonesia terkini? Keberanian dan kerelaan berkorban seperti apa yang bisa diteladani dalam konteks sekarang? Sebelum menjawab, beberapa kisah tokoh Alkitab berikut ini mungkin bisa memberikan sedikit inspirasi; di antaranya: Gideon, Simson, Yonatan, Yusuf dan Daniel.
Siapa yang tidak mengenal Gideon, seorang pahlawan Israel yang gagah berani dan memiliki strategi unik nan jitu. Ia berhasil mengalahkan pasukan musuh (Midian) yang berjumlah 135.000 orang hanya dengan kekuatan pasukan 300 orang bersenjatakan sangkakala, buyung kosong, dan obor! Mereka berhasil “membunuh” 120.000 pasukan musuh (Hak. 7:19-25, 8:10). Luar Biasa!
Bahasa Ibrani Gideon adalah (gid‛ôn) yang berarti “penebang, pemukul.” Gideon disebut juga Yerubaal yang mempunyai arti “biar Baal melawan,” sebutan yang diberikan kepada Gideon setelah ia merobohkan mezbah Baal di kota tempat tinggalnya, Ofra (6:32). Arti nama Gideon dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mungkin lebih tepat: Biar Baal sendiri melawan Gideon, sebab ia telah membongkar mezbahnya (Let Baal plead against him because he hath thrown down his altar – KJV).
Pemanggilan Gideon cukup unik karena terjadi di tempat “persembunyian” (6:11), namun Malaikat TUHAN menyebut Gideon sebagai “pahlawan yang gagah berani” (ay.12). Benarkah Gideon seorang pemberani? Bukankah ia berada di tempat persembunyian ketika Malaikat TUHAN menemuinya? Ketika TUHAN menyuruh Gideon merobohkan mezbah Baal, dia takut (Hak.6:27 mengatakan: “Tetapi karena ia takut kepada kaum keluarganya dan kepada orang-orang kota itu untuk melakukan hal itu pada waktu siang…”). Lalu ketika diperintahkan untuk menyerang pasukan Midian, ia pun takut. Tuhan memberi “penawaran” pada Gideon sebelum ia menyerbu musuh: “Tetapi jika engkau takut untuk turun menyerbu, turunlah bersama dengan Pura,…” dan Gideon benar-benar turun bersama Pura, bujangnya untuk “meninjau” perkemahan Midian terlebih dulu (7:10-15). Jika demikian, segagah dan seberani apakah Gideon sebenarnya, seperti sapaan Malaikat TUHAN itu? Apakah Malaikat salah menilai? Tentu saja tidak. Bila dicermati, ada dua hal “besar” yang dilakukan Gideon:
Meskipun ada perasaan takut, namun Gideon tetap berani mengambil sikap merobohkan mezbah Baal dan patung berhala yang ada di dekat mezbah tersebut lalu mendirikan mezbah bagi TUHAN dan mempersembahkan korban di atasnya (6:25-30).
Gideon berani mengambil keputusan mengurangi jumlah pasukan dalam melawan 135.000 orang tentara musuh. Pasukan Gideon semula berjumlah 32.000 (7:3) menjadi hanya berjumlah 300 orang (7:7). Ia pun berani mengambil keputusan menyerang pasukan Midian dengan strategi yang sudah disiapkan setelah mengalami keraguan (7:10-15).
Bahasa Ibrani Gideon adalah (gid‛ôn) yang berarti “penebang, pemukul.” Gideon disebut juga Yerubaal yang mempunyai arti “biar Baal melawan,” sebutan yang diberikan kepada Gideon setelah ia merobohkan mezbah Baal di kota tempat tinggalnya, Ofra (6:32). Arti nama Gideon dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mungkin lebih tepat: Biar Baal sendiri melawan Gideon, sebab ia telah membongkar mezbahnya (Let Baal plead against him because he hath thrown down his altar – KJV).
Pemanggilan Gideon cukup unik karena terjadi di tempat “persembunyian” (6:11), namun Malaikat TUHAN menyebut Gideon sebagai “pahlawan yang gagah berani” (ay.12). Benarkah Gideon seorang pemberani? Bukankah ia berada di tempat persembunyian ketika Malaikat TUHAN menemuinya? Ketika TUHAN menyuruh Gideon merobohkan mezbah Baal, dia takut (Hak.6:27 mengatakan: “Tetapi karena ia takut kepada kaum keluarganya dan kepada orang-orang kota itu untuk melakukan hal itu pada waktu siang…”). Lalu ketika diperintahkan untuk menyerang pasukan Midian, ia pun takut. Tuhan memberi “penawaran” pada Gideon sebelum ia menyerbu musuh: “Tetapi jika engkau takut untuk turun menyerbu, turunlah bersama dengan Pura,…” dan Gideon benar-benar turun bersama Pura, bujangnya untuk “meninjau” perkemahan Midian terlebih dulu (7:10-15). Jika demikian, segagah dan seberani apakah Gideon sebenarnya, seperti sapaan Malaikat TUHAN itu? Apakah Malaikat salah menilai? Tentu saja tidak. Bila dicermati, ada dua hal “besar” yang dilakukan Gideon:
Meskipun ada perasaan takut, namun Gideon tetap berani mengambil sikap merobohkan mezbah Baal dan patung berhala yang ada di dekat mezbah tersebut lalu mendirikan mezbah bagi TUHAN dan mempersembahkan korban di atasnya (6:25-30).
Gideon berani mengambil keputusan mengurangi jumlah pasukan dalam melawan 135.000 orang tentara musuh. Pasukan Gideon semula berjumlah 32.000 (7:3) menjadi hanya berjumlah 300 orang (7:7). Ia pun berani mengambil keputusan menyerang pasukan Midian dengan strategi yang sudah disiapkan setelah mengalami keraguan (7:10-15).
Simson (shimshôn) memiliki arti “seperti matahari; matahari kecil” (like the sun). Nama ini adalah pemberian orangtuanya, Manoah dan istrinya (namanya tidak dicatat dalam alkitab). Orangtua Simson mungkin berharap bahwa anaknya kelak membawa sinar terang di tengah “kegelapan” yang dialami Israel selama 40 tahun dalam cengkeraman dan penindasan orang Filistin, seperti yang dijanjikan Malaikat TUHAN (Hak. 13:1-5).
Agak berbeda dengan hakim-hakim lain, Alkitab secara eksplisit menyebutkan Simson sebagai seorang nazir Allah (Hak. 13:5), yaitu seorang yang dipersembahkan dan dikhususkan bagi Allah untuk mengerjakan tugas-tugas yang juga khusus (bdk. Samuel [1Sam. 1:11] dan Yohanes Pembaptis [Luk. 1:15]). Sebagai nazir, Simson terikat dengan beberapa ketentuan yang harus ditaatinya sesuai hukum Musa, yaitu: menjauhkan diri dari semua yang mengandung anggur, tidak boleh memotong rambut, tidak boleh dekat apalagi menyentuh mayat (Bil. 6:1-7). Ia pun dianugerahi kekuatan luar biasa yang menjadi “modal” menjalankan tugasnya sebagai seorang hakim; membebaskan Israel dari ancaman dan penindasan orang Filistin (Hak. 13:5). Tugas tersebut dikerjakan oleh Simson dengan sangat efektif seorang diri. Ia membunuh 30 orang Filistin gagah perkasa di Askelon (14:19); menangkap 300 anjing hutan dan mengikatkan ekor anjing-anjing tersebut dengan obor untuk membakar ladang gandum Filistin yang siap tuai (15:4-5); membunuh 1000 orang Filistin hanya dengan tulang rahang keledai (15:15); dan di akhir hidupnya, ia merobohkan bangunan yang berisi tiga ribu orang sehingga semuanya mati tertimpa bangunan itu (16:27, 30).
Keberanian Simson sebagai seorang pahlawan Israel memang tidak diragukan. Namun ada beberapa hal yang menodai citra kepahlawanannya itu:
Semua yang ia lakukan terhadap orang Filistin mengatasnamakan dirinya sendiri dengan mengatakan, “Seperti mereka memperlakukan aku, demikianlah aku memperlakukan mereka.” (15:11). Simson berorientasi pada diri sendiri, bukan bangsanya, orang-orang yang dipimpinnya. Hal tersebut membuat orang-orang sebangsanya, dari suku Yehuda, geram terhadap “tingkah laku” Simson (15:9-13). Sebagai seorang nazir Allah ia hidup seolah-olah mengabaikan kenazirannya itu dengan melanggar hukum kenaziran (lih. 14:10-17; 16:17).
Simson tidak bisa mengekang nafsu. Kisah hidupnya diwarnai dengan hasrat seksual yang meresahkan dan memalukan: sebagai seorang Israel ia menikahi gadis Filistin (14:1-3); sebagai seorang hakim ia mengumbar nafsu seksualnya dengan perempuan sundal (16:1); dan akhir hidupnya jatuh dalam pelukan Delilah –yang kemungkinan adalah perempuan Filistin– dengan mengorbankan kenazirannya (16:4-22).
Simson juga mengabaikan anugerah Allah mengenai kekuatannya karena ia berpikir bahwa kekuatannya berasal dari rambutnya (16:17). Padahal dalam kesempatan-kesempatan ia “mengaplikasikan” kekuatan tersebut, Alkitab mencatat “berkuasalah ROH TUHAN atas dia” (lih. 14:6, 19; 15:14; dan 16:20).
Agak berbeda dengan hakim-hakim lain, Alkitab secara eksplisit menyebutkan Simson sebagai seorang nazir Allah (Hak. 13:5), yaitu seorang yang dipersembahkan dan dikhususkan bagi Allah untuk mengerjakan tugas-tugas yang juga khusus (bdk. Samuel [1Sam. 1:11] dan Yohanes Pembaptis [Luk. 1:15]). Sebagai nazir, Simson terikat dengan beberapa ketentuan yang harus ditaatinya sesuai hukum Musa, yaitu: menjauhkan diri dari semua yang mengandung anggur, tidak boleh memotong rambut, tidak boleh dekat apalagi menyentuh mayat (Bil. 6:1-7). Ia pun dianugerahi kekuatan luar biasa yang menjadi “modal” menjalankan tugasnya sebagai seorang hakim; membebaskan Israel dari ancaman dan penindasan orang Filistin (Hak. 13:5). Tugas tersebut dikerjakan oleh Simson dengan sangat efektif seorang diri. Ia membunuh 30 orang Filistin gagah perkasa di Askelon (14:19); menangkap 300 anjing hutan dan mengikatkan ekor anjing-anjing tersebut dengan obor untuk membakar ladang gandum Filistin yang siap tuai (15:4-5); membunuh 1000 orang Filistin hanya dengan tulang rahang keledai (15:15); dan di akhir hidupnya, ia merobohkan bangunan yang berisi tiga ribu orang sehingga semuanya mati tertimpa bangunan itu (16:27, 30).
Keberanian Simson sebagai seorang pahlawan Israel memang tidak diragukan. Namun ada beberapa hal yang menodai citra kepahlawanannya itu:
Semua yang ia lakukan terhadap orang Filistin mengatasnamakan dirinya sendiri dengan mengatakan, “Seperti mereka memperlakukan aku, demikianlah aku memperlakukan mereka.” (15:11). Simson berorientasi pada diri sendiri, bukan bangsanya, orang-orang yang dipimpinnya. Hal tersebut membuat orang-orang sebangsanya, dari suku Yehuda, geram terhadap “tingkah laku” Simson (15:9-13). Sebagai seorang nazir Allah ia hidup seolah-olah mengabaikan kenazirannya itu dengan melanggar hukum kenaziran (lih. 14:10-17; 16:17).
Simson tidak bisa mengekang nafsu. Kisah hidupnya diwarnai dengan hasrat seksual yang meresahkan dan memalukan: sebagai seorang Israel ia menikahi gadis Filistin (14:1-3); sebagai seorang hakim ia mengumbar nafsu seksualnya dengan perempuan sundal (16:1); dan akhir hidupnya jatuh dalam pelukan Delilah –yang kemungkinan adalah perempuan Filistin– dengan mengorbankan kenazirannya (16:4-22).
Simson juga mengabaikan anugerah Allah mengenai kekuatannya karena ia berpikir bahwa kekuatannya berasal dari rambutnya (16:17). Padahal dalam kesempatan-kesempatan ia “mengaplikasikan” kekuatan tersebut, Alkitab mencatat “berkuasalah ROH TUHAN atas dia” (lih. 14:6, 19; 15:14; dan 16:20).
Arti kata Yonatan (yehônâthân) adalah “Allah yang memberikan” (Jesus has given). Yonatan adalah anak laki-laki tertua Saul di samping anak laki-lakinya yang lain: Yiswi dan Malkisua. Yonatan juga memiliki dua saudara perempuan yaitu: Merab dan Mikhal (1 Sam. 14:49). Yonatan barangkali lebih dikenal sebagai sahabat Daud daripada sebagai seorang pahlawan (Israel). Yonatan sepertinya juga lebih terkesan lembut dan sopan, tidak terlihat sebagai sosok pahlawan, berbeda dengan Daud yang sudah terlihat karakter kepahlawanannya saat melawan Goliat. Kisah persahabatan Yonatan dan Daud pun memang berawal dari peristiwa Daud mengalahkan Goliat (1 Sam. 18:1), maka tidak heran jika sifat kepahlawanan Yonatan seakan luput dari perhatian.
Yonatan memiliki keteladanan yang istimewa sebagai seorang pahlawan. Dalam tradisi kerajaan dan budaya patriakal, anak laki-laki tertua raja berhak menyandang sebagai putera mahkota dan menjadi pewaris tahta kerajaan. Ketika orang Israel lebih memilih bentuk negara monarki daripada teokrasi maka suksesi kepemimpinannya pun mengikuti pola monarki (1 Sam. 8). Jadi Yonatan adalah putera mahkota Saul (Israel) dan memiliki kans menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Israel. Sebagai seorang pangeran dan prajurit Israel:
Yonatan berani mempertaruhkan nyawa demi keberhasilan perjuangan Israel. Hanya berdua bersama pembawa senjatanya, ia melakukan penyerangan di tempat pertahanan Filistin dan berhasil membunuh 20 orang tentara musuh hingga menimbulkan kegentaran di dalam pasukan Filistin (1 Sam. 13:23 – 14:23). Tindakan Yonatan tersebut sangat berisiko karena ia sengaja mendatangi “sarang” musuh sendirian dan hanya ditemani satu orang pembawa senjatanya. Ia bisa saja mati karena kalah jumlah. Tetapi Yonatan yakin akan pertolongan Tuhan sehingga ia berani mengambil risiko tersebut. Dalam persitiwa tersebut Yonatan mendapat penghormatan dari para prajurit Israel (14:45).
Yonatan merelakan kedudukannya sebagai pewaris tahta kerajaaan Israel kepada Daud. Ia menerima dengan tulus pemilihan Daud sebagai pengganti ayahnya yang sudah tidak diperkenan lagi oleh Tuhan (1 Sam. 15:10-11; 16:1, 12-13). Bahkan uniknya, ia menjalin persahabatan dengan Daud, sementara ayahnya justru membenci Daud; kondisi yang sebenarnya menguntungkan bagi Yonatan sebagai putra mahkota. Tetapi ia bahkan menyerahkan jubah, baju perang, pedang, panah, dan ikat pinggangnya kepada Daud (1 Sam. 18:4). Hal ini merupakan simbol kepercayaan dan penyerahan hak Yonatan kepada Daud sebagai sahabat dan calon raja Israel “mengambil alih” kedudukannya. Yonatan rela mengorbankan kepentingannya demi kepentingan Tuhan dan kebaikan Israel.
Yonatan memiliki keteladanan yang istimewa sebagai seorang pahlawan. Dalam tradisi kerajaan dan budaya patriakal, anak laki-laki tertua raja berhak menyandang sebagai putera mahkota dan menjadi pewaris tahta kerajaan. Ketika orang Israel lebih memilih bentuk negara monarki daripada teokrasi maka suksesi kepemimpinannya pun mengikuti pola monarki (1 Sam. 8). Jadi Yonatan adalah putera mahkota Saul (Israel) dan memiliki kans menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Israel. Sebagai seorang pangeran dan prajurit Israel:
Yonatan berani mempertaruhkan nyawa demi keberhasilan perjuangan Israel. Hanya berdua bersama pembawa senjatanya, ia melakukan penyerangan di tempat pertahanan Filistin dan berhasil membunuh 20 orang tentara musuh hingga menimbulkan kegentaran di dalam pasukan Filistin (1 Sam. 13:23 – 14:23). Tindakan Yonatan tersebut sangat berisiko karena ia sengaja mendatangi “sarang” musuh sendirian dan hanya ditemani satu orang pembawa senjatanya. Ia bisa saja mati karena kalah jumlah. Tetapi Yonatan yakin akan pertolongan Tuhan sehingga ia berani mengambil risiko tersebut. Dalam persitiwa tersebut Yonatan mendapat penghormatan dari para prajurit Israel (14:45).
Yonatan merelakan kedudukannya sebagai pewaris tahta kerajaaan Israel kepada Daud. Ia menerima dengan tulus pemilihan Daud sebagai pengganti ayahnya yang sudah tidak diperkenan lagi oleh Tuhan (1 Sam. 15:10-11; 16:1, 12-13). Bahkan uniknya, ia menjalin persahabatan dengan Daud, sementara ayahnya justru membenci Daud; kondisi yang sebenarnya menguntungkan bagi Yonatan sebagai putra mahkota. Tetapi ia bahkan menyerahkan jubah, baju perang, pedang, panah, dan ikat pinggangnya kepada Daud (1 Sam. 18:4). Hal ini merupakan simbol kepercayaan dan penyerahan hak Yonatan kepada Daud sebagai sahabat dan calon raja Israel “mengambil alih” kedudukannya. Yonatan rela mengorbankan kepentingannya demi kepentingan Tuhan dan kebaikan Israel.
Siapa yang tidak kenal Yusuf, anak Yakub? Yusuf adalah buah kasih Yakub dan Rahel. Ia mengalami serangkaian proses pembentukan dan persiapan dari Allah untuk menjadikannya pemimpin dan penyelamat bagi bangsa Israel dan bangsa-bangsa lainnya. Ia menjadi orang kepercayaan dalam Istana Raja Firaun dengan jabatan sebagai Raja Muda.
Kesuksesan yang diperoleh Yusuf bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja, tetapi merupakan buah kesabaran dan pengendalian diri yang baik, juga merupakan wujud kasih Allah yang senantiasa menyertai setiap perjalanan hidupnya. Ada banyak kesulitan yang mengiringi hidupnya dalam proses menuju kesuksesan tersebut. Semenjak belia ia sering menjadi korban bullying kakak-kakaknya. Bahkan di usia sweet seventeen, kakak-kakaknya berhasil menyingkirkan Yusuf dengan menjualnya seharga 20 syikal perak kepada saudagar-saudagar Midian keturunan Ismael, yang biasa membeli orang-orang untuk dijual sebagai budak belian di Mesir.
Kesetiaan Yusuf dan ketaatannya kepada Allah membawanya kepada karier yang hebat. Pengendalian diri yang baik terhadap dendam dan rasa benci ditunjukkannya ketika ia diperhadapkan kembali dengan saudara-saudaranya yang telah menyebabkannya berpisah dari ayahnya. Kedudukan dan kekuasaan yang dimiliki Yusuf sangat memungkinkannya untuk menuntut balas atas perlakuan kakak-kakaknya, namun hal tersebut tidak dilakukannya. Yusuf telah memenangkan pertempuran dalam dirinya dan mengalahkan rasa benci dan dendam. Relasinya yang sangat dekat dengan Allah telah membuatnya merdeka dari segala perasaan negatif untuk membalas dendam.
Belajar dari Yusuf, untuk menjadi pahlawan, seseorang terlebih dahulu harus merdeka dari keinginan dirinya sendiri. Itulah sebabnya dalam Amsal 16:32 dikatakan bahwa, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” Sudahkah kita menguasai diri kita masing-masing sehingga kita layak disebut sebagai pribadi yang telah merdeka?
Kesuksesan yang diperoleh Yusuf bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja, tetapi merupakan buah kesabaran dan pengendalian diri yang baik, juga merupakan wujud kasih Allah yang senantiasa menyertai setiap perjalanan hidupnya. Ada banyak kesulitan yang mengiringi hidupnya dalam proses menuju kesuksesan tersebut. Semenjak belia ia sering menjadi korban bullying kakak-kakaknya. Bahkan di usia sweet seventeen, kakak-kakaknya berhasil menyingkirkan Yusuf dengan menjualnya seharga 20 syikal perak kepada saudagar-saudagar Midian keturunan Ismael, yang biasa membeli orang-orang untuk dijual sebagai budak belian di Mesir.
Kesetiaan Yusuf dan ketaatannya kepada Allah membawanya kepada karier yang hebat. Pengendalian diri yang baik terhadap dendam dan rasa benci ditunjukkannya ketika ia diperhadapkan kembali dengan saudara-saudaranya yang telah menyebabkannya berpisah dari ayahnya. Kedudukan dan kekuasaan yang dimiliki Yusuf sangat memungkinkannya untuk menuntut balas atas perlakuan kakak-kakaknya, namun hal tersebut tidak dilakukannya. Yusuf telah memenangkan pertempuran dalam dirinya dan mengalahkan rasa benci dan dendam. Relasinya yang sangat dekat dengan Allah telah membuatnya merdeka dari segala perasaan negatif untuk membalas dendam.
Belajar dari Yusuf, untuk menjadi pahlawan, seseorang terlebih dahulu harus merdeka dari keinginan dirinya sendiri. Itulah sebabnya dalam Amsal 16:32 dikatakan bahwa, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” Sudahkah kita menguasai diri kita masing-masing sehingga kita layak disebut sebagai pribadi yang telah merdeka?
Jika mengalaminya sendiri, kita akan tahu bahwa rasanya sangat tidak enak menghadapi fitnah. Rasa cemburu yang berlebihan dan iri hati sepertinya sudah mendarah daging dalam kehidupan manusia sehingga pembunuhan karakter lewat tuduhan-tuduhan keji bisa dilemparkan dengan mudahnya, hanya karena merasa iri pada keberhasilan orang lain. Bertolak dari realita tersebut, kita belajar dari kisah Daniel yang mengalami hal serupa.
Daniel adalah pribadi yang taat kepada Allah dan tekun berdoa. Dari kisahnya di dalam kitab Perjanjian Lama, kita dapat membaca bahwa ia biasa berdoa dengan berlutut dan memuji Allah sebanyak tiga kali sehari. Ada atau tidak ada kegiatan, sibuk atau tidak sibuk, ia tetap berdoa dengan disiplin. Tidaklah mengherankan jika Daniel dikatakan sepuluh kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu di seluruh kerajaan (Daniel 1:20) dan diketahui memiliki roh yang luar biasa (6:4). Kecerdasan Daniel melebihi 120 wakil raja dan dua pejabat tinggi lainnya. Empat kali terjadi pergantian raja, namun Daniel tetap bertahan dalam jabatannya. Hal itu membuktikan bahwa Daniel memang berbeda. Kebiasaannya berdoa ternyata bisa berdampak sangat besar di dalam dirinya.
Melihat kesuksesan seperti itu, mulailah para pejabat tinggi dan wakil raja merasa dengki dan iri hati, lalu mencari-cari kesalahan Daniel. Namun dalam Alkitab disebutkan bahwa mereka tidak mendapatkan kesalahan apa pun. Beberapa kali musuh-musuhnya berusaha mencelakakannya, bahkan beberapa kali Daniel dan teman-temannya berhadapan dengan kematian. Lalu apakah Daniel gentar dengan semua itu, lalu berbalik meninggalkan Allah? Tidak! Ia tetap tenang dan berdoa memohon kepada Allah. Ketika ia hendak dicelakai, ia tetap beriman teguh kepada Tuhan, sehingga bukannya mengalami celaka, tetapi dengan luar biasa ia dapat menyaksikan kuasa Allah yang dahsyat dan ajaib. Orang banyak pun melihat bahwa Daniel diselamatkan karena kepercayaannya yang penuh kepada Allah.
Ketika kita menghadapi masalah, tuduhan, atau fitnah, ke mana kita pergi mencari jawaban? Sering kali kita mengandalkan kemampuan diri sendiri yang terbatas. Sering kali kita tidak sabar, dan akibatnya tersandung untuk memilih alternatif-alternatif instan yang menyesatkan. Sering kali kita malah semakin jauh dari Tuhan. Kisah Daniel selayaknya membuka mata kita bahwa ada kuasa luar biasa di balik ketekunan kita berdoa. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:3-4, bahwa dalam menyikapi kesengsaraan seharusnya kita tetap mengucap syukur kepada Allah, karena kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.
Tuhan sanggup melepaskan kita dari hal apa pun, bahkan yang paling tidak mungkin sekalipun menurut logika manusia. Tuhan kita adalah Allah yang dahsyat dan ajaib. Ketika menghadapi masalah, fitnah, jebakan dan sebagainya dari orang-orang yang dikuasai iri hati, datanglah kepada Tuhan dan berdoalah. Mintalah hikmat dan pertolongan-Nya. Tuhan akan selalu mendengar doa yang diungkapkan anak-anak-Nya dengan sungguh-sungguh. Belajar dari Daniel, ingatlah bahwa ada banyak hal yang tidak mungkin menurut ukuran kita, namun tidak mustahil bagi Tuhan. Selamat menikmati kemustahilan di dalam relasi kita dengan Tuhan.
sumber : SITUS KOMUNITAS JEMAAT
Daniel adalah pribadi yang taat kepada Allah dan tekun berdoa. Dari kisahnya di dalam kitab Perjanjian Lama, kita dapat membaca bahwa ia biasa berdoa dengan berlutut dan memuji Allah sebanyak tiga kali sehari. Ada atau tidak ada kegiatan, sibuk atau tidak sibuk, ia tetap berdoa dengan disiplin. Tidaklah mengherankan jika Daniel dikatakan sepuluh kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu di seluruh kerajaan (Daniel 1:20) dan diketahui memiliki roh yang luar biasa (6:4). Kecerdasan Daniel melebihi 120 wakil raja dan dua pejabat tinggi lainnya. Empat kali terjadi pergantian raja, namun Daniel tetap bertahan dalam jabatannya. Hal itu membuktikan bahwa Daniel memang berbeda. Kebiasaannya berdoa ternyata bisa berdampak sangat besar di dalam dirinya.
Melihat kesuksesan seperti itu, mulailah para pejabat tinggi dan wakil raja merasa dengki dan iri hati, lalu mencari-cari kesalahan Daniel. Namun dalam Alkitab disebutkan bahwa mereka tidak mendapatkan kesalahan apa pun. Beberapa kali musuh-musuhnya berusaha mencelakakannya, bahkan beberapa kali Daniel dan teman-temannya berhadapan dengan kematian. Lalu apakah Daniel gentar dengan semua itu, lalu berbalik meninggalkan Allah? Tidak! Ia tetap tenang dan berdoa memohon kepada Allah. Ketika ia hendak dicelakai, ia tetap beriman teguh kepada Tuhan, sehingga bukannya mengalami celaka, tetapi dengan luar biasa ia dapat menyaksikan kuasa Allah yang dahsyat dan ajaib. Orang banyak pun melihat bahwa Daniel diselamatkan karena kepercayaannya yang penuh kepada Allah.
Ketika kita menghadapi masalah, tuduhan, atau fitnah, ke mana kita pergi mencari jawaban? Sering kali kita mengandalkan kemampuan diri sendiri yang terbatas. Sering kali kita tidak sabar, dan akibatnya tersandung untuk memilih alternatif-alternatif instan yang menyesatkan. Sering kali kita malah semakin jauh dari Tuhan. Kisah Daniel selayaknya membuka mata kita bahwa ada kuasa luar biasa di balik ketekunan kita berdoa. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:3-4, bahwa dalam menyikapi kesengsaraan seharusnya kita tetap mengucap syukur kepada Allah, karena kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.
Tuhan sanggup melepaskan kita dari hal apa pun, bahkan yang paling tidak mungkin sekalipun menurut logika manusia. Tuhan kita adalah Allah yang dahsyat dan ajaib. Ketika menghadapi masalah, fitnah, jebakan dan sebagainya dari orang-orang yang dikuasai iri hati, datanglah kepada Tuhan dan berdoalah. Mintalah hikmat dan pertolongan-Nya. Tuhan akan selalu mendengar doa yang diungkapkan anak-anak-Nya dengan sungguh-sungguh. Belajar dari Daniel, ingatlah bahwa ada banyak hal yang tidak mungkin menurut ukuran kita, namun tidak mustahil bagi Tuhan. Selamat menikmati kemustahilan di dalam relasi kita dengan Tuhan.
sumber : SITUS KOMUNITAS JEMAAT
0 comments:
Post a Comment