touching

touching the world and teaching the word

Biblical

Learn word Of God

Disciplieship

Disciplies Generations

Inspiration

Be Insprirasi at your place

Passion

Have passion to know God

Wednesday, November 19, 2014

Kenapa Orang Jerman Kerjanya Dikit & Liburnya Banyak Tapi Tetap Lebih Produktif?



Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, seorang pemuda bertanya pada saya: “Apa band-nya masih (main)?” Saat itu kami sedang berada di salah satu kafe di daerah Sosrowijayan, Yogyakarta. Sayangnya, band yang pemuda itu maksud baru saja memainkan lagu terakhir mereka. Agar dia tidak terlalu kecewa, saya pun menawarkannya hang out sebentar bersama saya dan teman-teman. Pemuda itu, Severin, dengan senang hati menerima ajakan tersebut.

Dari percakapan malam itu, saya ketahui bahwa kami seumuran. Severin berasal dari kota Munich, dan bekerja sebagai kru panggung untuk sebuah klub malam di sana. Dia bertugas dari jam 6 petang hingga 12 tengah malam — 6 jam kerja sehari, 5 hari sepekan. Enak banget? Ada yang lebih enak lagi: dia diberi cuti selama 6 minggu oleh atasannya, dengan gaji yang tetap dibayar penuh plus uang saku untuk liburan.

Saya pun jadi penasaran: apakah kultur kerja di Jerman memang sesantai itu? Bagaimana bisa dengan kerja yang tapi masih bisa memperoleh penghasilan yang cukup? Bagaimana bisa mereka meninggalkan pekerjaan selama berminggu-minggu tanpa sedikit pun rasa khawatir dan bikin bos kalang kabut? Yuk, sama-sama kita pelajari budaya dan etos kerja yang diterapkan oleh orang di Jerman sana!


1. Bagi orang Jerman, jam kerja artinya ya jam untuk bekerja. Titik.




Semua punya tugas

Rata-rata orang Jerman bekerja sebanyak 35 jam per minggu alias 7 jam dalam sehari. Dalam kultur kerja di negara tersebut, saat karyawan sedang bertugas, dia gak boleh melakukan apapun selain kerjaannya. Itu berarti gak ada waktu buat bergosip dengan rekannya, membuka Facebook dan media sosial lainnya, apalagi belanja online. Kebiasaan berlagak sibuk (padahal lagi nge-Kaskus) saat bos kamu menghampiri merupakan perilaku yang gak bisa diterima dalam dunia kerja Jerman. Nah, bagi kamu yang masih buka media sosial atau chat di ponsel pintar, ayo ditutup dulu. Kembali ke pekerjaan, fokus!

Ketika sedang bekerja orang Jerman terkenal sangat fokus dan rajin, kamu bisa datang dan pergi dari kantor sewaktu-waktu asalkan sudah menyelesaikan pekerjaanmu. Jadi, tak ada aturan ketat masuk jam 9 pulang jam 5. Mereka selalu berusaha fokus dan cekatan dalam bekerja, sehingga produktivitas yang tinggi bisa tercapai dalam waktu yang singkat.


2. Demi mengejar tujuan, Orang Jerman lebih menyukai pola komunikasi langsung




Komunikasi langsung tanpa basa-basi

Saat kita orang Indonesia mengagungkan budaya basa-basi, orang Jerman tetap bisa asik tanpa banyak basa-basi. Karyawan di Jerman akan bicara langsung kepada atasannya mengenai laporan yang ia buat, bawahan juga gak segan untuk menanyakan kenapa performa kerjanya dianggap menurun. Atasan mereka juga lebih suka menggunakan perintah langsung seperti “Saya butuh kerjaan kamu jam 3 sore ini” daripada “Gak buru-buru, kok. Tapi kalau bisa selesai jam 3, bagus.”

Coba intip daftar susunan acara rapat di kantor-kantor Jerman. Kamu gak akan menemukan mata acara ‘Sambutan’ dari Pak ini dan Bu itu. Apalagi mata acara ‘Ramah Tamah’. Semua dilakukan langsung pada intinya, tanpa perlu adanya pencair suasana.


3. Orang Jerman memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi dengan seimbang






Karena fokus yang mereka curahkan bagi pekerjaan begitu intens dan mereka begitu produktif saat di kantor/pabrik, selesai jam kantor mereka manfaatkan buat istirahat. Mereka gak terlalu suka hang out atau ngopi-ngopi dulu bareng teman sekantor. Karena pada umumnya orang Jerman benar-benar menghargai batasan antara kehidupan pribadi dan kehidupan profesionalnya. Bahkan pemerintah Jerman berencana untuk melarang pengiriman email yang berhubungan dengan kerjaan setelah jam 6 sore, supaya pekerja di sana bisa beristirahat.

Bagi mereka, hari libur benar-benar dimanfaatkan untuk berlibur. Akhir pekan dimanfaatkan untuk bercengkrama dengan keluarga dan berbaur dengan masyarakat melalui komunitas minat khusus seperti klub musik, klub olahraga, klub pecinta binatang, klub hiking dan sebagainya. Bahkan di desa terkecil di Jerman terdapat beberapa klub, hingga mereka gak melewatkan akhir pekan dengan malas-malasan di depan TV.


4. Masyarakat Jerman dimanjakan dengan jumlah hari libur yang banyak






Dalam setahun, masyarakat Jerman menikmati ‘libur yang dimandatkan negara’ (mungkin sama dengan ‘cuti bersama’ atau ‘libur nasional’ kalau di Indonesia) yang banyak banget. Kalau ditotal, bisa mencapai 6 minggu dalam setahun. Bayangkan, kamu gak harus pergi kerja selama 6 minggu sementara gaji kamu tetap dibayar penuh. Itu belum termasuk 25-30 hari jumlah cuti (padahal yang dianjurkan cuma 20 hari) yang boleh diambil dalam setahun, itu artinya jika bisa pandai-pandai mengatur jadwal liburan, mereka bisa traveling ke tempat jauh sekalian seperti yang Severin lakukan di atas.

Lalu apa hubungannya liburan dengan produktivitas kerja? Selain liburan membuat kamu lebih fresh saat kembali ke kantor, kita juga harus menggunakan kacamata orang Jerman dalam melihat liburan. Bagi mereka, liburan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Sedangkan kita hanya menganggap liburan sebagai bonus/hadiah dari pekerjaan.


5. Para karyawan di Jerman jarang melakukan rapat dan pertemuan






Kalau kultur kerja di Indonesia terbiasa dengan kebiasaan beramah-tamah, santai dan lebih banyak basa-basi demi menjalin keakraban, kultur kerja di Jerman menitikberatkan pada kualitas, bekerja secara individu, dan segera pulang setelah selesai pekerjaannya. Memang benar mereka lebih suka bekerja sendiri dan tertutup jika itu dipandang bagus buat diri dan kantornya. Seringkali mereka mengambil istirahat siang yang panjang agar bisa bekerja di luar kantor dan lebih fokus. Jadi, jangan heran melihat mereka jarang ngumpul buat rapat atau ngobrol soal kerjaan. Bagi mereka, less social time is more work time.


6. Tidak ada yang perlu dicemaskan bila mereka kehilangan pekerjaan






Jika mereka berminggu-minggu libur dan cuti, apa mereka gak takut kehilangan pekerjaan? Mau bayar tagihan pakai apa? Tenang, selain karena libur dan cuti tersebut dimandatkan oleh negara, orang Jerman gak terlalu cemas jika mereka gak punya pekerjaan. Itu karena pemerintah Jerman selalu berusaha membahagiakan rakyatnya dengan menyediakan layanan kesehatan gratis, biaya kuliah gratis, dan santunan kepada anak-anak kecil.

Orang Jerman bebas dari rasa cemas karena beberapa tagihan mereka udah ditanggung oleh pemerintah. Akibatnya mereka jadi jauh lebih bahagia, lebih produktif, dan seluruh waktunya dicurahkan untuk pekerjaan dan keluarga, bukan fokus buat memikirkan tunggakan bulanan.


7. Kualitas jauh lebih dipentingkan daripada kuantitas






Kultur kerja yang diterapkan orang Jerman sekali lagi menegaskan bahwa kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Saat kita membanggakan diri dengan jumlah jam kerja dan lembur yang kita lakukan buat kantor dan perusahaan, orang Jerman lebih mengutamakan kualitas dari hasil pekerjaan. Kualitas itu didapatkan dengan fokus, efisiensi dan dedikasi tanpa kompromi di tempat kerja.

Mereka memblokir semua gangguan dari luar dan dalam diri demi menyelesaikan kewajiban, lalu segera kembali ke keluarga dan komunitas untuk memelihara keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Lagipula, buat apa pamer sudah kerja lembur hingga 12 jam kalau sebagian besar pekerjaannya diisi oleh membuka Facebook, ngerumpi, serta berbasa-basi?



Kultur kerja masyarakat Jerman memang gak bisa disamakan dengan gaya di Indonesia. Namun, sebenarnya dari beberapa contoh di atas kamu bisa mempelajari beberapa ilmu. Keuletan dan usaha mereka menyeimbangkan antara ‘work’ dengan ‘play’ bisa kamu tiru. Pola komunikasi langsung pada intinya bisa menghemat waktu, meningkatkan efisiensi, dan memperjelas percakapan antar rekan kerja. Menutup media sosial saat bekerja akan membantu fokus dan gak mudah terdistraksi. Lalu, nikmatilah akhir pekan kamu tanpa gangguansmartphone dan internet agar otak kamu lebih bugar saat kembali ke kantor nanti.


sumber : hipwee

Tuesday, November 11, 2014

Pahlawan-pahlawan Alkitab: Berani dan Rela Berkorban



Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (Matius 5:16)

“Pahlawan” dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; seorang pejuang yang gagah berani. Definisi tersebut memberi gambaran bahwa seseorang yang mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban dalam membela atau memperjuangkan sesuatu demi kebenaran, keadilan, dan kebebasan dalam konteksnya, disebut sebagai pahlawan. Jika demikian, masih adakah sekarang ini (di Indonesia) yang bisa disebut sebagai pahlawan? Apa konteks Indonesia terkini? Keberanian dan kerelaan berkorban seperti apa yang bisa diteladani dalam konteks sekarang? Sebelum menjawab, beberapa kisah tokoh Alkitab berikut ini mungkin bisa memberikan sedikit inspirasi; di antaranya: Gideon, Simson, Yonatan, Yusuf dan Daniel.

GIDEON (Hakim-hakim 6-8)

Siapa yang tidak mengenal Gideon, seorang pahlawan Israel yang gagah berani dan memiliki strategi unik nan jitu. Ia berhasil mengalahkan pasukan musuh (Midian) yang berjumlah 135.000 orang hanya dengan kekuatan pasukan 300 orang bersenjatakan sangkakala, buyung kosong, dan obor! Mereka berhasil “membunuh” 120.000 pasukan musuh (Hak. 7:19-25, 8:10). Luar Biasa!

Bahasa Ibrani Gideon adalah (gid‛ôn) yang berarti “penebang, pemukul.” Gideon disebut juga Yerubaal yang mempunyai arti “biar Baal melawan,” sebutan yang diberikan kepada Gideon setelah ia merobohkan mezbah Baal di kota tempat tinggalnya, Ofra (6:32). Arti nama Gideon dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mungkin lebih tepat: Biar Baal sendiri melawan Gideon, sebab ia telah membongkar mezbahnya (Let Baal plead against him because he hath thrown down his altar – KJV).

Pemanggilan Gideon cukup unik karena terjadi di tempat “persembunyian” (6:11), namun Malaikat TUHAN menyebut Gideon sebagai “pahlawan yang gagah berani” (ay.12). Benarkah Gideon seorang pemberani? Bukankah ia berada di tempat persembunyian ketika Malaikat TUHAN menemuinya? Ketika TUHAN menyuruh Gideon merobohkan mezbah Baal, dia takut (Hak.6:27 mengatakan: “Tetapi karena ia takut kepada kaum keluarganya dan kepada orang-orang kota itu untuk melakukan hal itu pada waktu siang…”). Lalu ketika diperintahkan untuk menyerang pasukan Midian, ia pun takut. Tuhan memberi “penawaran” pada Gideon sebelum ia menyerbu musuh: “Tetapi jika engkau takut untuk turun menyerbu, turunlah bersama dengan Pura,…” dan Gideon benar-benar turun bersama Pura, bujangnya untuk “meninjau” perkemahan Midian terlebih dulu (7:10-15). Jika demikian, segagah dan seberani apakah Gideon sebenarnya, seperti sapaan Malaikat TUHAN itu? Apakah Malaikat salah menilai? Tentu saja tidak. Bila dicermati, ada dua hal “besar” yang dilakukan Gideon:

Meskipun ada perasaan takut, namun Gideon tetap berani mengambil sikap merobohkan mezbah Baal dan patung berhala yang ada di dekat mezbah tersebut lalu mendirikan mezbah bagi TUHAN dan mempersembahkan korban di atasnya (6:25-30).

Gideon berani mengambil keputusan mengurangi jumlah pasukan dalam melawan 135.000 orang tentara musuh. Pasukan Gideon semula berjumlah 32.000 (7:3) menjadi hanya berjumlah 300 orang (7:7). Ia pun berani mengambil keputusan menyerang pasukan Midian dengan strategi yang sudah disiapkan setelah mengalami keraguan (7:10-15).
SIMSON (Hakim-Hakim 13-16)


Simson (shimshôn) memiliki arti “seperti matahari; matahari kecil” (like the sun). Nama ini adalah pemberian orangtuanya, Manoah dan istrinya (namanya tidak dicatat dalam alkitab). Orangtua Simson mungkin berharap bahwa anaknya kelak membawa sinar terang di tengah “kegelapan” yang dialami Israel selama 40 tahun dalam cengkeraman dan penindasan orang Filistin, seperti yang dijanjikan Malaikat TUHAN (Hak. 13:1-5).

Agak berbeda dengan hakim-hakim lain, Alkitab secara eksplisit menyebutkan Simson sebagai seorang nazir Allah (Hak. 13:5), yaitu seorang yang dipersembahkan dan dikhususkan bagi Allah untuk mengerjakan tugas-tugas yang juga khusus (bdk. Samuel [1Sam. 1:11] dan Yohanes Pembaptis [Luk. 1:15]). Sebagai nazir, Simson terikat dengan beberapa ketentuan yang harus ditaatinya sesuai hukum Musa, yaitu: menjauhkan diri dari semua yang mengandung anggur, tidak boleh memotong rambut, tidak boleh dekat apalagi menyentuh mayat (Bil. 6:1-7). Ia pun dianugerahi kekuatan luar biasa yang menjadi “modal” menjalankan tugasnya sebagai seorang hakim; membebaskan Israel dari ancaman dan penindasan orang Filistin (Hak. 13:5). Tugas tersebut dikerjakan oleh Simson dengan sangat efektif seorang diri. Ia membunuh 30 orang Filistin gagah perkasa di Askelon (14:19); menangkap 300 anjing hutan dan mengikatkan ekor anjing-anjing tersebut dengan obor untuk membakar ladang gandum Filistin yang siap tuai (15:4-5); membunuh 1000 orang Filistin hanya dengan tulang rahang keledai (15:15); dan di akhir hidupnya, ia merobohkan bangunan yang berisi tiga ribu orang sehingga semuanya mati tertimpa bangunan itu (16:27, 30).

Keberanian Simson sebagai seorang pahlawan Israel memang tidak diragukan. Namun ada beberapa hal yang menodai citra kepahlawanannya itu:
Semua yang ia lakukan terhadap orang Filistin mengatasnamakan dirinya sendiri dengan mengatakan, “Seperti mereka memperlakukan aku, demikianlah aku memperlakukan mereka.” (15:11). Simson berorientasi pada diri sendiri, bukan bangsanya, orang-orang yang dipimpinnya. Hal tersebut membuat orang-orang sebangsanya, dari suku Yehuda, geram terhadap “tingkah laku” Simson (15:9-13). Sebagai seorang nazir Allah ia hidup seolah-olah mengabaikan kenazirannya itu dengan melanggar hukum kenaziran (lih. 14:10-17; 16:17).
Simson tidak bisa mengekang nafsu. Kisah hidupnya diwarnai dengan hasrat seksual yang meresahkan dan memalukan: sebagai seorang Israel ia menikahi gadis Filistin (14:1-3); sebagai seorang hakim ia mengumbar nafsu seksualnya dengan perempuan sundal (16:1); dan akhir hidupnya jatuh dalam pelukan Delilah –yang kemungkinan adalah perempuan Filistin– dengan mengorbankan kenazirannya (16:4-22).
Simson juga mengabaikan anugerah Allah mengenai kekuatannya karena ia berpikir bahwa kekuatannya berasal dari rambutnya (16:17). Padahal dalam kesempatan-kesempatan ia “mengaplikasikan” kekuatan tersebut, Alkitab mencatat “berkuasalah ROH TUHAN atas dia” (lih. 14:6, 19; 15:14; dan 16:20).
YONATAN (1 Samuel 13:23-14:46; 18:1-5; 20:1-43)


Arti kata Yonatan (yehônâthân) adalah “Allah yang memberikan” (Jesus has given). Yonatan adalah anak laki-laki tertua Saul di samping anak laki-lakinya yang lain: Yiswi dan Malkisua. Yonatan juga memiliki dua saudara perempuan yaitu: Merab dan Mikhal (1 Sam. 14:49). Yonatan barangkali lebih dikenal sebagai sahabat Daud daripada sebagai seorang pahlawan (Israel). Yonatan sepertinya juga lebih terkesan lembut dan sopan, tidak terlihat sebagai sosok pahlawan, berbeda dengan Daud yang sudah terlihat karakter kepahlawanannya saat melawan Goliat. Kisah persahabatan Yonatan dan Daud pun memang berawal dari peristiwa Daud mengalahkan Goliat (1 Sam. 18:1), maka tidak heran jika sifat kepahlawanan Yonatan seakan luput dari perhatian.

Yonatan memiliki keteladanan yang istimewa sebagai seorang pahlawan. Dalam tradisi kerajaan dan budaya patriakal, anak laki-laki tertua raja berhak menyandang sebagai putera mahkota dan menjadi pewaris tahta kerajaan. Ketika orang Israel lebih memilih bentuk negara monarki daripada teokrasi maka suksesi kepemimpinannya pun mengikuti pola monarki (1 Sam. 8). Jadi Yonatan adalah putera mahkota Saul (Israel) dan memiliki kans menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Israel. Sebagai seorang pangeran dan prajurit Israel:

Yonatan berani mempertaruhkan nyawa demi keberhasilan perjuangan Israel. Hanya berdua bersama pembawa senjatanya, ia melakukan penyerangan di tempat pertahanan Filistin dan berhasil membunuh 20 orang tentara musuh hingga menimbulkan kegentaran di dalam pasukan Filistin (1 Sam. 13:23 – 14:23). Tindakan Yonatan tersebut sangat berisiko karena ia sengaja mendatangi “sarang” musuh sendirian dan hanya ditemani satu orang pembawa senjatanya. Ia bisa saja mati karena kalah jumlah. Tetapi Yonatan yakin akan pertolongan Tuhan sehingga ia berani mengambil risiko tersebut. Dalam persitiwa tersebut Yonatan mendapat penghormatan dari para prajurit Israel (14:45).

Yonatan merelakan kedudukannya sebagai pewaris tahta kerajaaan Israel kepada Daud. Ia menerima dengan tulus pemilihan Daud sebagai pengganti ayahnya yang sudah tidak diperkenan lagi oleh Tuhan (1 Sam. 15:10-11; 16:1, 12-13). Bahkan uniknya, ia menjalin persahabatan dengan Daud, sementara ayahnya justru membenci Daud; kondisi yang sebenarnya menguntungkan bagi Yonatan sebagai putra mahkota. Tetapi ia bahkan menyerahkan jubah, baju perang, pedang, panah, dan ikat pinggangnya kepada Daud (1 Sam. 18:4). Hal ini merupakan simbol kepercayaan dan penyerahan hak Yonatan kepada Daud sebagai sahabat dan calon raja Israel “mengambil alih” kedudukannya. Yonatan rela mengorbankan kepentingannya demi kepentingan Tuhan dan kebaikan Israel.
YUSUF, PRIBADI YANG MERDEKA TERHADAP DIRI SENDIRI


Siapa yang tidak kenal Yusuf, anak Yakub? Yusuf adalah buah kasih Yakub dan Rahel. Ia mengalami serangkaian proses pembentukan dan persiapan dari Allah untuk menjadikannya pemimpin dan penyelamat bagi bangsa Israel dan bangsa-bangsa lainnya. Ia menjadi orang kepercayaan dalam Istana Raja Firaun dengan jabatan sebagai Raja Muda.

Kesuksesan yang diperoleh Yusuf bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja, tetapi merupakan buah kesabaran dan pengendalian diri yang baik, juga merupakan wujud kasih Allah yang senantiasa menyertai setiap perjalanan hidupnya. Ada banyak kesulitan yang mengiringi hidupnya dalam proses menuju kesuksesan tersebut. Semenjak belia ia sering menjadi korban bullying kakak-kakaknya. Bahkan di usia sweet seventeen, kakak-kakaknya berhasil menyingkirkan Yusuf dengan menjualnya seharga 20 syikal perak kepada saudagar-saudagar Midian keturunan Ismael, yang biasa membeli orang-orang untuk dijual sebagai budak belian di Mesir.

Kesetiaan Yusuf dan ketaatannya kepada Allah membawanya kepada karier yang hebat. Pengendalian diri yang baik terhadap dendam dan rasa benci ditunjukkannya ketika ia diperhadapkan kembali dengan saudara-saudaranya yang telah menyebabkannya berpisah dari ayahnya. Kedudukan dan kekuasaan yang dimiliki Yusuf sangat memungkinkannya untuk menuntut balas atas perlakuan kakak-kakaknya, namun hal tersebut tidak dilakukannya. Yusuf telah memenangkan pertempuran dalam dirinya dan mengalahkan rasa benci dan dendam. Relasinya yang sangat dekat dengan Allah telah membuatnya merdeka dari segala perasaan negatif untuk membalas dendam.

Belajar dari Yusuf, untuk menjadi pahlawan, seseorang terlebih dahulu harus merdeka dari keinginan dirinya sendiri. Itulah sebabnya dalam Amsal 16:32 dikatakan bahwa, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” Sudahkah kita menguasai diri kita masing-masing sehingga kita layak disebut sebagai pribadi yang telah merdeka?
DANIEL, KETEKUNAN YANG MEMBAWA PERUBAHAN


Jika mengalaminya sendiri, kita akan tahu bahwa rasanya sangat tidak enak menghadapi fitnah. Rasa cemburu yang berlebihan dan iri hati sepertinya sudah mendarah daging dalam kehidupan manusia sehingga pembunuhan karakter lewat tuduhan-tuduhan keji bisa dilemparkan dengan mudahnya, hanya karena merasa iri pada keberhasilan orang lain. Bertolak dari realita tersebut, kita belajar dari kisah Daniel yang mengalami hal serupa.

Daniel adalah pribadi yang taat kepada Allah dan tekun berdoa. Dari kisahnya di dalam kitab Perjanjian Lama, kita dapat membaca bahwa ia biasa berdoa dengan berlutut dan memuji Allah sebanyak tiga kali sehari. Ada atau tidak ada kegiatan, sibuk atau tidak sibuk, ia tetap berdoa dengan disiplin. Tidaklah mengherankan jika Daniel dikatakan sepuluh kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu di seluruh kerajaan (Daniel 1:20) dan diketahui memiliki roh yang luar biasa (6:4). Kecerdasan Daniel melebihi 120 wakil raja dan dua pejabat tinggi lainnya. Empat kali terjadi pergantian raja, namun Daniel tetap bertahan dalam jabatannya. Hal itu membuktikan bahwa Daniel memang berbeda. Kebiasaannya berdoa ternyata bisa berdampak sangat besar di dalam dirinya.

Melihat kesuksesan seperti itu, mulailah para pejabat tinggi dan wakil raja merasa dengki dan iri hati, lalu mencari-cari kesalahan Daniel. Namun dalam Alkitab disebutkan bahwa mereka tidak mendapatkan kesalahan apa pun. Beberapa kali musuh-musuhnya berusaha mencelakakannya, bahkan beberapa kali Daniel dan teman-temannya berhadapan dengan kematian. Lalu apakah Daniel gentar dengan semua itu, lalu berbalik meninggalkan Allah? Tidak! Ia tetap tenang dan berdoa memohon kepada Allah. Ketika ia hendak dicelakai, ia tetap beriman teguh kepada Tuhan, sehingga bukannya mengalami celaka, tetapi dengan luar biasa ia dapat menyaksikan kuasa Allah yang dahsyat dan ajaib. Orang banyak pun melihat bahwa Daniel diselamatkan karena kepercayaannya yang penuh kepada Allah.

Ketika kita menghadapi masalah, tuduhan, atau fitnah, ke mana kita pergi mencari jawaban? Sering kali kita mengandalkan kemampuan diri sendiri yang terbatas. Sering kali kita tidak sabar, dan akibatnya tersandung untuk memilih alternatif-alternatif instan yang menyesatkan. Sering kali kita malah semakin jauh dari Tuhan. Kisah Daniel selayaknya membuka mata kita bahwa ada kuasa luar biasa di balik ketekunan kita berdoa. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:3-4, bahwa dalam menyikapi kesengsaraan seharusnya kita tetap mengucap syukur kepada Allah, karena kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

Tuhan sanggup melepaskan kita dari hal apa pun, bahkan yang paling tidak mungkin sekalipun menurut logika manusia. Tuhan kita adalah Allah yang dahsyat dan ajaib. Ketika menghadapi masalah, fitnah, jebakan dan sebagainya dari orang-orang yang dikuasai iri hati, datanglah kepada Tuhan dan berdoalah. Mintalah hikmat dan pertolongan-Nya. Tuhan akan selalu mendengar doa yang diungkapkan anak-anak-Nya dengan sungguh-sungguh. Belajar dari Daniel, ingatlah bahwa ada banyak hal yang tidak mungkin menurut ukuran kita, namun tidak mustahil bagi Tuhan. Selamat menikmati kemustahilan di dalam relasi kita dengan Tuhan.



sumber : SITUS KOMUNITAS JEMAAT

Thursday, November 6, 2014

Sepatu Terakhir










Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar seplanet bumi.
Nama lelaki itu Derek Redmond, seorang atlet pelari olimpiade asal Inggris. Impian terbesarnya ialah mendapatkan sebuah medali olimpiade, -apapun medalinya-. Derek sebenarnya sudah ikut di ajang olimpiade sebelumnya, tahun 1988 di Korea. Namun sayang beberapa saat sebelum bertanding, ia cedera sehingga tak bisa ikut berlomba. Mau tak mau, olimpiade ini, adalah kesempatan terbaiknya untuk mewujudkan mimpinya. Ini adalah hari pembuktiannya, untuk mendapatkan medali di nomor lari 400 meter. Karena ia dan ayahnya sudah berlatih sangat keras untuk ini.

Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia kan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini.
Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersembut, tiba-tiba ia didera cedera. Secara tiba-tiba di meter ke 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.

Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah.
Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli ia menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.

Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cidera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, “Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini”, katanya.

Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit dikakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa Derek ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju ke garis finish.

Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, “Itu anakku, dan aku akan menolongnya!”

Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin. Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.

“Aku disini Nak”, katanya lembut sambil memeluk Anaknya, “dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama.

Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, Sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.

Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, menyemangati mereka, bersorak bertepuktangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.

Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.

“Aku adalah ayah yang paling bangga sedunia!, Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas.”

Dua tahun paska perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.

Namun tahukah kalian apa yang terjadi?

Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.

Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih sayang seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan.

Come & Join With Us! Gospel Guitar & Keyboard Workshop In Bethany Favor Of God